Microsoft word - sejarah seksualitas dalam kekristenan.docx
Sejarah Seksualitas dalam Kekristenan 1 Stephen Suleeman Pendahuluan Permintaan kepada saya untuk menyampaikan makalah “Sejarah Seksualitas dalam Kekris-tenan” adalah sebuah permintaan yang menantang namun juga tidak mudah ditulis. Permintaan ini menantang, sebab sejauh ini orang biasanya meminta pendeta untuk menyampaikan pandangan etika-teologi tentang seksualitas menurut agama Kristen. Namun tidak pernah permintaan untuk membahas sejarahnya sendiri dalam Kekristenan. Yang kedua, permintaan ini jelas tidak mudah karena bila kita berbicara tentang Kekristenan, maka kita segera diperhadapkan dengan sebuah entitas yang tidak tunggal. Yang disebut Kekristenan adalah sebuah keyakinan agama yang merentang selama dua ribu tahunan, dan di dalam sejarah perjalanannya telah mengalami banyak sekali gejolak, perubahan, pergeseran pemahaman, dll. Akibatnya, pada saat ini paling tidak dikenal ada empat bentuk besar Kekristenan, yaitu Kekristenan Ortodoks (Katolik Timur), Katolik Roma (Katolik Barat), Protestanisme, dan Pen-takostalisme. Keempat alur Kekristenan ini mempunyai banyak persamaan tetapi juga per-bedaan di antaranya. Belum lagi kalau kita mencoba melihat berbagai aliran dan denominasi yang muncul dan lahir dari dalam Kekristenan, seperti Adventisme, Neo-Pentakostalisme (Ka-rismatik), Christian Science, Mormon, dll. Karena itu, saya berpendapat penting orang mengetahui di mana saya berdiri dan dari mana saya bertolak. Saya datang dari latar belakang sebuah gereja Protestan di Indonesia yang dikenal cukup moderat dalam menghadapi berbagai isu di dalam masyarakat, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan seksualitas. Namun demikian, perlu pula dicatat bahwa gereja kami – seperti juga banyak gereja Protestan lainnya di Indonesia – bertumbuh dari latar belakang zen-ding dan teologi Pietisme yang kuat berkembang di Eropa Barat pada abad ke-17-an. Pietisme, yang bertumbuh dari Lutheranisme ini, menggabungkan teologi Hervormd yang menekankan kesalehan pribadi dengan kehidupan Kristen yang kuat yang ditandai oleh sejumlah ciri kesalehan seperti rajin membaca Alkitab setiap hari, berdoa pribadi, menegur orang yang bersalah dengan lemah lembut, dll. Di kemudian hari ciri-ciri ini bertambah dengan pola hidup yang menjauhkan diri dari rokok, alkohol, bermain kartu, dan dansa-dansi. Film “Babette’s Feast” adalah sebuah contoh tentang kehidupan pietis yang banyak berkembang di kalangan orang Kristen Protestan di Indonesia sampai sekitar 40-50 tahun yang lalu.
1. Bagaimana Memahami Seksualitas dalam Kekristenan?
Untuk dapat memahami seksualitas dalam Kekristenan, kita pertama-tama perlu memahami dasar-dasar teologisnya. Pertama-tama, semua orang Kristen tampaknya sama-sama menganut pemahaman bahwa manusia diciptakan oleh Allah baik adanya. Dalam Kejadian 1 dijelaskan bahwa setiap selesai dengan satu hari penciptaan-Nya, digambarkan bahwa “Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” Demikian pula ketika Allah menciptakan manusia dikatakan oleh bahwa Allah memerintahkan agar manusia dan segala makhluk di bumi ini untuk berkembang biak. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej. 1:28) Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa hubungan seksual (koitus) baik untuk manusia maupun hewan dan penyerbukan putik oleh benang sari adalah pemenuhan perintah dari Yang Maha
1 Dibawakan dalam rangkaian seminar “Sejarah Seksualitas dalam Agama-agama” di OurVoice, 28 April 2013. Penulis adalah pendeta dan dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Kuasa untuk melanjutkan spesiesnya masing-masing dan dengan demikian melestarikan alam ciptaan. Namun demikian kisah penciptaan tidak berhenti hanya di situ. Kejadian 2:4b dst. merupakan kisah penciptaan kedua yang oleh sejumlah pakar sebagai versi Yahwis dari kisah penciptaan, sementara Kejadan 1:1 – 2:4a adalah kisah versi Priestis. Dalam kisah yang kedua ini, digambarkan bahwa TUHAN Allah pertama-tama menciptakan manusia (=Adam) seorang diri. Karena itulah maka TUHAN bersabda, “TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kej. 2:18) Maka TUHAN pun membentuk dari tanah segala binatang untuk menemani manusia. Namun ternyata manusia masih tetap merasa kesepian karena binatang-binatang itu ternyata bukanlah penolong yang sepadan baginya. Karena itulah maka TUHAN membuat manusia tertidur dan kemudian menciptakan Hawa (=kehidupan) baginya. Namun dalam kelanjutan perjalanan hidupnya manusia ternyata jatuh ke dalam dosa. Mereka memakan buah dari pohon pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Karena itulah mereka dihukum TUHAN dan diusir dari Taman Eden. Inilah apa yang terkenal sekarang sebagai “dosa asal” atau “dosa turunan”.
Sebelum melangkah lebih jauh kita perlu juga memahami tempat perempuan di dalam menurut Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama) maupun Perjanjian Baru. Di dalam Kitab Kejadian 2:18 seperti yang telah disinggung di atas, telah disebutkan bahwa TUHAN menginginkan manusia memiliki penolong yang sepadan baginya. Karena itulah TUHAN menciptakan Hawa. Apa arti-nya “penolong yang sepadan” ini? Mungkinkah penolong ini orang yang lebih lemah daripada-nya? Mestinya tidak! Tetapi itulah yang terjadi di kemudian hari. Pemahaman tentang perem-puan selama berabad-abad sangat buruk. Perempuan dianggap sama dengan harta benda dan kekayaan lainnya. Dalam Kitab Keluaran disebutkan, “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembu-nya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu.” (Kel. 20:17) Ada pula peraturan yang menunjukkan bahwa anak perempuan berbeda kedudukannya dengan anak laki-laki. Dalam Imamat dikatakan: “Apabila anak perempuan seorang imam membiarkan kehormatannya dilanggar dengan bersundal, maka ia melanggar kekudusan ayahnya, dan ia harus dibakar dengan api.” (Im. 21:9) Tidak ada peraturan serupa ini untuk anak laki-laki seorang imam. Meskipun demikian, ada bagian-bagian tertentu di dalam Kitab Suci Ibrani yang menunjukkan bahwa perempuan bisa menduduki tempat yang tinggi di dalam masyarakat dan dihormati karena jasanya. Debora, seorang hakim perempuan, dan Yael, berhasil mengalahkan dan mem-bunuh Sisera (Hak. 4:22). Rahab, seorang pelacur di kota Yerikho, mendapatkan penghargaan karena membantu menyelamatkan para pengintai Israel yang berusaha mencari informasi tentang kota itu. Rut dihormati meskipun ia seorang perempuan asing karena daripadanya lahir Obed, leluhur Daud, raja Israel yang terbesar. Dan Ester, permaisuri raja Ahasyweros, berhasil menyelamatkan orang-orang Yahudi dari rencana keji Haman yang berniat memusnahkannya, dan kemenangannya diperingati dalam pesta Purim. Namun semua ini barangkali hanya penge-cualian saja, sementara keadaan pada umumnya sangat buruk bagi perempuan. Dalam Perjanjian Baru, kedudukan perempuan mendapatkan perhatian istimewa dari Yesus. Maria dan Marta adalah dua perempuan yang sangat dekat dengan Yesus. Di gereja perdana ada
sejumlah perempuan yang menjadi pemimpin jemaat.2 Sementara itu, Paulus terkenal karena mengatatakan dalam suratnya kepada Jemaat di Galatia, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (3:28)
Tertullianus (l.k. 160 – l.k. 225) adalah seorang penulis Kristen yang produktif dan berasal dari Karthago. Dialah penulis Kristen pertama yang menghasilkan banyak tulisan dalam literatur Kristen Latin. Ia juga dikenal sebagai apologet Kristen awal terkemuka dalam melawan ajaran sesat. Tertullianus disebut sebagai “Bapa Kekristenan Latin” dan “pendiri teologi Barat”. Ter-tullianus terkenal karena pandangan-pandangannya yang sangat ekstrem tentang seksualitas dan hubungan seks. Dalam tulisannya, De Cultu Feminarum, ia mengatakan,3
Tidak tahukah bahwa engkau adalah Hawa? Penghakiman Allah terhadap kehidupan seks ini hidup terus sampai sekarang. Karena itu, maka kesalahan itu pun hidup terus. Engkau adalah pintu gerbang si iblis. Engkaulah yang membuka meterai kutukan pohon itu, dan engkaulah yang pertama kali memalingkan diri dari hukum ilahi. Engkaulah yang membujuknya [Adam], yang iblis tidak mampu merusakkannya. Engkau dengan mudah menghancurkan gambar Allah, Adam. Karena apa yang layak engkau terima, yakni maut, bahkan Anak Allah harus mati.”4
Tertullianus menerima pernikahan tetapi menolak poligami. Katanya:5
“Kami memang tidak melarang kesatuan antara laki-laki dan perempuan, yang diberkati oleh Allah sebagai tempat persemaian ras manusia, dan dirancang untuk memenuhi bumi dan melengkapi dunia dan dengan demikian diizinkan, tapi hanya dengan satu orang saja. Karena Adam adalah satu suami dari Hawa, dan Hawa adalah istrinya yang hanya satu saja, satu perempuan, satu tulang rusuk.”
Augustinus (354-430) adalah salah satu Bapa Gereja yang paling terkemuka. Teologinya sangat mempengaruhi pemikiran teologi Barat, dan di kalangan Protestan sangat mewarnai teolog-teolog seperti Thomas Aquinas, Martin Luther, Yohanes Calvin, dan Karl Barth di masa modern. Masa muda Augustinus boleh dibilang “sembarangan”. Ia hidup berganti-ganti pasangan dan akhirnya selama beberapa tahun hidup dengan seorang perempuan di luar ikatan pernikahan. Dari perempuan itu ia memperoleh seorang anak laki-laki namun kemudian anak itu meninggal dunia. Pada usia sekitar 30 tahun ibunya mendesak agar ia menikah dan meninggalkan kehidupannya yang tidak terkontrol itu. Ibunya yakin bahwa dengan menjalani hidup
2 Lih. Elisabeth Schüssler-Fiorenze, Untuk Mengenang Perempuan Itu. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
3 Tertullianus, De Cultu Feminarum, Section I.I, Part 2. (terj. C.W. Marx)
5 Alexander Roberts, James Donalson, Arthur Cleveland Cox. ”Fathers of the Third Century –Tertullian”, dalam The Ante-Nicene Fathers: The Writings of the Fathers Down to A.D. 325, Volume IV, Part 4, dari bahan tentang Ad Uxorem libri duo, Ch. II, Grand Rapids: MI, Eerdmans Pub. Co., 1885.
pernikahan yang baik dan tradisional, Augustinus akhirnya akan menjadi Kristen. Augustinus menerima saran ibunya dan ia bertunangan dengan seorang gadis yang berumur 10 tahun. Kendati pun demikian, Augustinus tetap merasakan gejolak dalam kehidupan seksualnya. Sementara menunggu hingga tunangannya cukup usia untuk dinikahi, Augustinus mengambil pasangan seksual yang lain.6 Tak lama setelah itu Augustinus memperoleh pengalaman rohani yang membuatnya bertobat dan meninggalkan pola hidupnya yang lama. Setelah menjadi Kristen, Augustinus hidup selibat. Pengalaman seksual Augustinus yang serba bebas di masa mudanya sebelum ia menjadi Kristen tampaknya sangat mempengaruhi pemikiran etika seksualnya. Tentang perkawinan, misalnya, Augustinus pernah mengatakan, “The union, then, of male and female for the purpose of pro-creation is the natural good of marriage. But he makes a bad use of this good who uses it bestially, so that his intention is on the gratification of lust, instead of the desire of offspring.” (Jadi, kesatuan laki-laki dan perempuan dengan tujuan prokreasi adalah kebaikan alami dari perkawinan. Teta-pi ia yang menyalahgunakan kebaikan ini, yang menggunakannya seperti binatang, sehingga tujuannya adalah pada pemuasan hawa nafsu, dan bukan pada keinginan untuk mendapatkan keturunan.”7 Augustinus membandingkan manusia dengan binatang. Burung-burung, misalnya, kata Augusti-nus, mempunyai naluri untuk hidup berpasangan dan kemampuan sosial dalam membangun sarangnya. Mereka pun berbagi peran dalam menjaga telur mereka dan bergantian pula mem-berikan makan kepada bayi-bayi mereka. Jadi dalam diri mereka tampak keinginan untuk me-lanjutkan keturunan mereka dan bukan sekadar memuaskan nafsu saja.8 Salah satu ajaran penting dari Augustinus adalah apa yang disebut seagai “dosa asal” atau “dosa turunan” yang dialami manusia setelah Adam dan Hawa memakan buah dari pohon terlarang di Taman Eden. Ajaran Augustinus ini bertahan terus sampai sekarang. Pengakuan Iman Westmin-ster – salah satu pengakuan iman yang diakui oleh gereja-gereja Hervormd – menyatakan seba-gai berikut:
iv. When God converts a sinner, and translates him into the state of grace, He frees him from his natural bondage under sin; and, by His grace alone, enables him freely to will and to do that which is spiritually good; yet so, as that by reason of his remaining corruption, he does not perfectly, or only, will that which is good, but does also will that which is evil. Ketika Allah mentobatkan seorang pendosa, dan memindahkannya ke dalam keadaan anugerah, Ia membebaskannya dari belenggu dosanya yang alamiah; dan, dengan anugerah-Nya belaka, memampukannya untuk dengan bebas mengingi dan melakukan apa yang secara rohani baik; namun demikian, karena oleh akal dari kerusakannya yang masih tersisa, ia tidak melakukannya dengan sempurna, atau hanya mengingini apa yang baik saja, melainkan juga mengingini apa yang jahat.
Ketertarikan seksual laki-laki terhadap perempuan, menurut Augustinus, adalah dosa. Laki-laki berdosa ketika ia mengalami ereksi, walaupun itu bukan dosa yang disengaja karena ia sendiri tidak bisa mengendalikannya. Untuk mengatasinya, perempuan harus dibatasi pengaruhnya terhadap laki-laki. Augustinus menyatakan bahwa si ular menghampiri Hawa di Taman Eden karena Hawa kurang memiliki daya rasio dibandingkan Adam. Hawa, menurut Augustinus,
6 Elizabeth Clark, ed., St. Augustine on Marriage and Sexuality. Washington, D.C.: The Catholic University of America Press, 1996, 4.
7 Augustinus, On Marriage and Concupiscence, Book I, ch. 5.
mewakili tubuh, sementara Adam mewakili roh. Jadi, dosa masuk ke dalam dunia karena roh (=Adam) gagal mengendalikan tubuh (=perempuan).9 Di atas jelas bahwa Augustinus menganggap nafsu seksual adalah sesuatu yang buruk, tetapi menurut Augustinus kita masih bisa memanfaatkan sisi-sisi baik dari keburukan itu. Augustinus percaya bahwa apabila digunakan untuk menghasilkan keturunan maka seks itu baik, sedang-kan kalau hanya untuk kesenangan belaka, maka seks tidak baik. Namun demikian, pernikahan juga punya segi positifnya yang lain. Pernikahan itu baik karena “dengan demikian manusia dapat mengendalikan nafsu jasmaninya dan mengerahkannya untuk tugas menghasilkan anak-anak, dan dengan demikian ikatan pernikahan menghasilkan sesuatu yang baik dari kejahatan nafsu.”10 Augustinus menganggap perempuan setara dengan laki-laki dalam kapasitas rasionalnya.11 Tetapi menurut seks jasmaninya, perempuan secara alamiah tunduk kepada laki-laki, seperti halnya energi aktif pikiran harus tunduk kepada perintah intelek yang rasional. Bagi Augusti-nus, ketundukan ini mestinya membuktikan suatu harmoni alamiah. Namun sifat-sifat positif yang dihargai Augustinus, seperti rasionalitas, hanya dapat ditemukan pada laki-laki, sementara energi yang tidak terkendali dihubungkan dengan perempuan. Dari dua pandangan Bapa Gereja di sini kita dapat melihat bahwa Kekristenan di masa Gereja Perdana cenderung menganggap rendah kedudukan perempuan. Perempuan tidak mempunyai kemampuan intelektual yang sama dengan laki-laki, dan mereka dipersalahkan sebagai penye-bab jatuhnya manusia ke dalam dosa. Hubungan seks yang baik hanyalah terjadi apabila tujuan-nya adalah menghasilkan keturunan.
Ada dua reformator penting yang saya singgung dalam bagian ini, yaitu Martin Luther dan Yoha-nes Calvin. Mereka saya pilih karena pemikiran mereka banyak mewarnai teologi gereja-gereja di Indonesia yang sebagian besar Calvinis dan Lutheran. Sebagai pengritik Gereja Katolik Roma, tidaklah mengherankan apabila salah satu hal yang diserang oleh Luther Calvin adalah posisi Gereja Katolik Roma tentang praktik selibat yang dituntut dari para klerus (rohaniwan/wati).
Martin Luther (1483-1546) mungkin adalah tokoh reformasi yang paling terkenal di antara ba-nyak reformator lainnya. Ia menjadi biarawan Augustinian dan banyak bergumul dengan masa-lah keselamatannya. Dalam pergumulannya itulah Luther kemudian mengembangkan kritik-kri-tiknya terhadap Gereja, dan akhirnya Luther dikucilkan dan muncullah gerakan Protestanisme di Eropa Barat. Sebagai seorang bekas biarawan Augustinian, tidaklah mengherankan apabila pemikiran Luther sangat dipengaruhi oleh ajaran Augustinus. Misalnya, sama seperti Augustinus, Luther berpen-dapat bahwa perempuan tidak punya kemampuan yang besar untuk menjadi pemikir. Anatomi tubuh perempuan sudah menunjukkan hal itu: pinggulnya yang lebar sangat cocok baginya
9 B. Edwards, “Let My People Go: A Call to End the Oppression of Women in the Church.” Charleston, SC: Createspace, 2011.
10 Augustinus, On the Good of Marriage, Chapter III.
11 Augustinus, Confessions, Book XIII, ch. 32.
untuk melahirkan anak, sementara bahunya yang lebih sempit sesuai dengan beban yang dipi-kulnya, yaitu otak (rasio) yang lebih kecil.12 Salah satu kritik Luther yang paling tegas adalah terhadap praktik selibat yang ditekankan oleh Gereja Katolik Roma. Luther menolak keras praktik selibat. Luther sendiri menikah dengan Katharina von Bora, seorang bekas biarawati yang kabur bersama 11 rekannya dari biara Cistercian di Nimbschen pada April 1523. Saat itu Luther sedang berusaha menolong mereka lari dengan menyelundupkan mereka dalam gentong-gentong ikan herring. Namun, kata Luther, “Tiba-tiba saja Tuhan menjebloskan saya ke dalam pernikahan.”13 Luther merasa sesungguhnya ia tidak siap untuk menikah karena ia merasa setiap saat ia bisa dihukum mati sebagai penyesat. Luther menolak kaul selibat para klerus karena ia merasa bahwa kaul itu hampir tidak mungkin dipertahankan oleh kebanyakan orang. Usaha untuk menahan dorongan seks, menurut Luther, sama saja dengan usaha seseorang yang menahan kencing.14 Tentang hubungan seksual, Luther berpendapat bahwa pasangan yang sedang berhubungan seksual tidak boleh melepaskan seluruh pakaiannya karena mereka tidak boleh saling merang-sang secara berlebihan, dan mereka tidak boleh menjadikan tempat tidur mereka “a manure heap and a sow bath” (tumpukan kotoran binatang dan tempat mandi babi) dengan menggu-nakan berbagai teknik dan posisi.15 Menjelang akhir hidupnya, satu setengah minggu sebelum ia meninggal dunia, Luther menulis surat kepada Katharina tentang impotensinya. Ia menganjurkan agar Katharina menghubungi Philip Melanchthon yang mungkin tahu jalan keluarnya. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Luther tampaknya aktif dalam kehidupan seksualnya. Bagi Luther, seks itu suci, sehat, dan bagian yang integral dari kehidupan dan pernikahan, “…sama seperti bagian dari kehidupan seperti halnya makan.”16 Luther mendukung pendapat bahwa perempuan bukanlah budak dari suaminya dan bahwa mereka mempunyai hak-hak yang penuh, termasuk hal untuk memperoleh kepuasan seksual. Bila seorang suami tidak dapat me-muaskan istrinya, dan ia mencintainya, maka suami itu haruslah mengizinkan istrinya mencari pasangan lain untuk memenuhi kepuasan seksualnya, bahkan sementara masih terikat dalam pernikahan.17 Yang mengejutkan, Luther mempunyai pendapat yang cukup radikal ketika ia menyatakan bah-wa orang Kristen tidak dilarang untuk berpoligami. Hanya para uskuplah yang dilarang, seperti yang dinyatakan dalam 1 Timotius 3:2 “Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpang-an, cakap mengajar orang…” dan 3:11 “Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal.”18
12 Merry Wiesner-Hanks dan Susan C. Karant-Nunn, Luther on Women. Cambridge University Press, 2003, 10.
13 Philip Schaff, History of the Christian Church, Vol. VII, Ch. V. Christian Classics Ethereal Library. Bainton, Mentor edition, 226.
14 Merry Wiesner-Hanks dan Susan C. Karant-Nunn, Luther on Women. Cambridge University Press, 2003.
16 Richard Marius, Martin Luther: The Christian between God and Death. Harvard University Press, 2009.
Pandangan-pandangan Luther ini didasarkan pada prinsipnya, bahwa apa yang tidak dengan tegas dilarang oleh Alkitab, maka hal itu diperbolehkan. Karena itu, Gereja Lutheran memper-tahankan banyak unsur-unsur dari teologi Katolik yang menurut Luther tidak dengan tegas ditolak oleh Alkitab. Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan Yohanes Calvin yang akan kita lihat di bawah ini.
Berbeda dengan Luther yang datang dari latar belakang teologi dan memulai kariernya sebagai seorang biarawan, Yohanes Calvin (1509-1564) berpendidikan ilmu hukum. Keluarganya men-dorongnya menjadi pengacara karena penghasilan seorang pengacara jauh lebih baik daripada seorang rohaniwan. Calvin sangat dipengaruhi oleh humanisme yang berkembang luas pada masanya. Ia belajar bahasa Latin, filsafat, dan belakangan bahasa Yunani yang menolongnya untuk membaca Kitab Suci Perjanjian Baru. Pada sekitar tahun 1530 ia keluar dari Gereja Ka-tolik Roma. Ketika muncul kerusuhan terhadap orang-orang Protestan di Prancis, Calvin mela-rikan diri ke Basel, Swiss dan di sana pada 1536 ia menerbitkan edisi pertama karya teologisnya yang terkenal, “The Institutes of the Christian Religion”. Calvin memperkenalkan bentuk pemerintahan gereja dan tata ibadah yang baru dengan mem-buang banyak unsur dari Gereja Katolik Roma. Menurut Calvin, apa yang tidak diizinkan secara eksplisit dalam Alkitab, berarti hal itu tidak boleh dilakukan. Ketika berada di Strasbourg pada Ferbruari 1540, Calvin diperkenalkan oleh Farel, sahabatnya, dengan dua orang perempuan. Salah satunya yang tidak begitu kaya, tetapi berbahasa Prancis, menarik hati Calvin, tetapi keluarga perempuan yang lebih kaya itu tetap mengejar Calvin. Calvin merasa malu dan sangat terganggu sehingga ia merasa tidak akan pernah mendapatkan istri. Tetapi pada sekitar Agustus 1540 Calvin menikah dengan Idelette de Bure, seorang janda Anabaptis yang sudah memiliki dua orang anak. Idelette melahirkan tiga atau empat orang anak bagi Calvin, tetapi semuanya mati pada saat dilahirkan. Idelette pun meninggal pada 1549. Calvin melakukan perombakan besar-besaran terhadap gereja dan berbagai peraturannya se-hingga berdirilah kemudian gereja-gereja yang beraliran Calvinis yang menggunakan berbagai nama: Presbiterian, Kongregasional, Hervormd, Reformed, dll. Menyangkut perkawinan, Calvin menjadikannya sebagai urusan negara, bukan lagi gereja. Gereja hanya berperan apabila pa-sangan yang bersangkutan memohon pemberkatan gereja. Calvin juga mewajibkan adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang akan menikah, persetujuan orangtua untuk pernikah-an anaknya, dll. Pernikahan adalah sebuah kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak yang masuk ke dalamnya. Teologi Calvin banyak dipengaruhi oleh teologi Augustinus, namun dalam hal seksualitas ia berbeda pendapat. Menurut Calvin, seksualitas adalah bagian dari kesempurnaan asal yang diberikan Allah kepada Adam dan Hawa. Calvin berpendapat penolakan terhadap seksualitas adalah sebuah dosa yang menghasilkan pembalasan seperti “kekejian binatang” dari para klerus di bawah kepausan.19 Calvin kadang-kadang membenarkan pernikahan sebagai sarana untuk menjinakkan nafsu seksual. Mereka yang tidak bisa menjinakkannya, kata Calvin, sebaiknya menikah saja dan mengakui bahwa Tuhan telah memaksakan kebutuhan untuk menikah kepadanya. Namun pada pihak lain, Calvin menolak perkataan Paulus yang mengatakan, “Tetapi kalau mereka tidak
19 William J. Bouwsma, John Calvin : A Sixteenth-Century Portrait: A Sixteenth-Century Portrait. Oxford University Press, 1987, 136.
dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu.” (I Kor. 7:9) Menurut Calvin, rumusan ini sangat buruk, sebab pernikahan yang sah adalah terhormat, sementara terbakar hangus adalah sesuatu yang buruk. 20 Calvin menolak bahwa perempuan diciptakan Tuhan hanya untuk prokreasi. Calvin menegas-kan bahwa ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Calvin juga menolak bahwa keja-tuhan manusia terutama disebabkan oleh Hawa. Sebaliknya, Calvin justru cenderung lebih mempersalahkan Adam sebagai penyebabnya. Calvin menolak bahwa perempuan itu melam-bangkan tubuh, dan laki-laki melambangkan roh. Bagi Calvin, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki tingkat spiritualitas yang sama. 21
5. Pemahaman Kekristenan tentang Seksualitas di Dunia Masa Kini
Dari pembahasan-pembahasan di atas kita sudah melihat bahwa ternyata pemahaman Kekris-tenan tentang seksualitas berkembang terus. Tidak ada suatu pandangan yang kekal selamanya, karena itulah hakikat teologi. Teologi tidak bisa dipahami secara beku melainkan terus berkem-bang sebagai hasil refleksi manusia yang beriman terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya, dan terus berusaha berpikir, bagaimana Tuhan bertindak dan berkehendak di masa kini. Bila kita bertanya bagaimana pemahaman para teolog dari masa Gereja perdana hingga masa para reformator itu tentang masalah homoseksualitas, misalnya, maka saya harus katakan bahwa mereka tidak menyinggung sedikit pun masalah itu. Calvin, dalam tafsirannya tentang kisah Sodom dan Gomora dalam Kitab Kejadian, misalnya, kejahatan orang-orang Sodom dan Gomora adalah kejahatan sosial:22
Here, in a single crime, Moses sets before our eyes a lively picture of Sodom. For it is hence obvious, how diabolical was their consent in all wickedness, since they all so readily conspired to perpetrate the most abominable crime. The greatness of their iniquity and wantonness, is apparent from the fact, that, in a collected troop, they approach, as enemies, to lay siege to the house of Lot. How blind and impetuous is their lust; since, without shame, they rush together like brute animals! how great their ferocity and cruelty; since they reproachfully threaten the holy man, and proceed to all extremities! Hence also we infer, that they were not contaminated with one vice only, but were given up to all audacity in crime, so that no sense of shame was left them. And Ezekiel (as we have above related) accurately describes from what beginnings of evil they had proceeded to this extreme turpitude, (Eze 16:49) What Paul says, also refers to the same point: that God punished the impiety of men, when he cast them into such a state of blindness, that they gave themselves up to abominable lusts, and dishonored their own bodies. (Ro 1:18.) But when the sense of shame is overcome, and the reins are given to lust, a vile and outrageous barbarism necessarily succeeds, and many kinds of sin are blended together, so that a most confused chaos is the result. But if this severe vengeance of God so fell upon the men of Sodom, that they became blind with rage, and prostituted themselves to all kinds of crime, certainly we shall scarcely be more mildly treated, whose iniquity is the less excusable, because the truth of God has been more clearly revealed unto us.
22 Calvin’s Commentaries, Vol 1: Genesis Part I, tr. John King
Dalam tafsirannya yang lain tentang bagian kitab yang sama, Calvin menegaskan bahwa ia menolak pendapat penafsir lain yang menyatakan bahwa dalam kisah itu kita dapat menemu-kan Trinitas.23 Dengan kata lain, tidak sedikit pun muncul dalam pikiran Calvin untuk mengait-kan kisah ini dengan homoseksualitas. Jadi bagaimana seharusnya kita memahami fenomena homoseksualitas di masa kini? Dapatkah kita menggunakan teks-teks Alkitab untuk menolak atau membenarkannya? Dalam perdebatan yang panjang kedua belah pihak – baik yang menerima maupun yang menolak – telah berusaha menunjukkan bagaimana teks-teks Alkitab harus dibaca dan ditafsirkan. Uraian ini akan men-jadi sangat panjang lebar dan mungkin akan sangat membosankan bagi mereka yang tidak ter-tarik akan perdebatan yang muncul di sekitar tafsiran itu. Namun ada sebuah tulisan menarik yang saya temukan yang membahas perdebatan masalah ini di kalangan Presbyterian Church (USA) pada 2011 ketika muncul persoalan apakah gereja akan mengakui atau menerima homo-seksual, apakah gereja akan mengizinkan jemaat atau klasis (kumpulan beberapa jemaat dalam sebuah wilayah tertentu), untuk mengambil kebijakannya sendiri untuk menahbiskan seorang homoseksual. Apabila muncul perbedaan penafsiran antara Alkitab dan ilmu pengetahuan, kata Ben Daniel, seorang pendeta Presbiterian dan penulis, kita harus kembali kepada Calvin dalam penafsiran Alkitab kita.24 Menurut Calvin, dalam keadaan seperti itu kita tidak boleh mempersalahkan sains dan bertahan pada Alkitab kita, atau sebaliknya mempersalahkan Alkitab dan hanya merangkul sains. Contohnya, menurut Calvin, Kitab Kejadian 1:16 mengatakan bahwa “Allah menjadikan kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan menjadikan juga bintang-bintang.” Jelas bahwa yang dimaksudkan sebagai dua benda penerang itu adalah matahari dan bulan. Namun menurut Calvin, sains membuktikan bahwa Saturnus lebih besar daripada bulan, jadi tak mungkin kisah Kejadian ini merujuk kepada bulan. Akan tetapi Calvin tidak menolak astronomi. Ia mengatakan,25
.astronomy is not only pleasant, but also very useful to be known: it cannot be denied that this art unfolds the admirable wisdom of God. Wherefore, as ingenious men are to be honored who have expended useful labor on this subject, so they who have leisure and capacity ought not to neglect this kind of exercise.
Jadi apabila terjadi konflik antara sains dan Alkitab, Calvin mengajarkan agar kita memahami Alkitab dengan cara yang berbeda, mencoba mengerti jalan pemikiran para penulisnya pada zamannya. Calvin berkata: “Moses wrote in a popular style things which without instruction, all ordinary persons, endued with common sense, are able to understand; but astronomers investigate with great labor whatever the sagacity of the human mind can comprehend.”26 Pada kenyataannya, di masa kini sains telah berkembang sangat pesat. Orang sekarang semakin memahami dengan lebih baik fenomena manusia dan alam yang sangat kompleks dan pemahaman ini telah membuat manusia semakin bijaksana. Biarlah dalam kebijaksanaan ini teologi pun semakin rendah hati dan mau mendengarkan suara-suara yang lain. Teologi bukan
24 Ben Daniel, “Science, the Bible, and the Vote to Ordain Gays,” dalam Huffington Post, http://www.huffingtonpost.com/ben-daniel/i-love-the-bible-im-a-cal_b_812682.html, diunduh 25 April 2013.
25 Calvin, Commentary on Genesis, dalam http://www.ccel.org/ccel/calvin/calcom01.vii.i.html, diunduh 25 April 2013.
lagi “ratu segala ilmu” seperti yang dicetuskan pada Abad Pertengahan, melainkan kini harus melayani segala ilmu dan kehidupan manusia. Rujukan Augustinus, Confessions, Book XIII.
Augustinus, On Marriage and Concupiscence, Book I.
Bouwsma, William J. John Calvin: A Sixteenth-Century Portrait. Oxford University Press, 1987.
Calvin, John. Commentary on Genesis, dalam
http://www.ccel.org/ccel/calvin/calcom01.vii.i.html, diunduh 25 April 2013.
Calvin’s Commentaries, Vol 1: Genesis Part I, tr. John King
Clark, Elizabeth, ed. St. Augustine on Marriage and Sexuality. Washington, D.C.: The Catholic
Daniel, Ben. “Science, the Bible, and the Vote to Ordain Gays,” dalam Huffington Post,
http://www.huffingtonpost.com/ben-daniel/i-love-the-bible-im-a-cal_b_812682.html, diunduh 25 April 2013.
Edwards, B. “Let My People Go: A Call to End the Oppression of Women in the Church.”
Marius, Richard. Martin Luther: The Christian between God and Death. Harvard University Press,
Roberts, Alexander, James Donalson, Arthur Cleveland Cox. ”Fathers of the Third Century –
Tertullian”, dalam The Ante-Nicene Fathers: The Writings of the Fathers Down to A.D. 325, Volume IV, Part 4, dari bahan tentang Ad Uxorem libri duo, Ch. II, Grand Rapids: MI, Eerdmans Pub. Co., 1885.
Schaff, Philip. History of the Christian Church.Vol. VII, Ch. V. Christian Classics Ethereal Library.
Schüssler-Fiorenza, Elisabeth. Untuk Mengenang Perempuan Itu. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Tertullianus, De Cultu Feminarum, Section I.I, Part 2. (terj. C.W. Marx)
Wiesner-Hanks, Merry dan Susan C. Karant-Nunn. Luther on Women. Cambridge University
Rafael Gómez-Lus Department of Microbiology, Hospital ClínicoReceived 25 June 1998Accepted 25 July 1998 Summary Bacterial resistance to antibiotics is often plasmid-mediated and the associated genes encoded by transposable elements. These elements play a central role in evolution by providing mechanisms for the generation of diversity and, in conjunction with DNA transfer systems, for the